1.
Perkembangan, kedudukan, dan fungsi lembaga penyelesaian
sengketa pajak melalui Peradilan Pajak di Indonesia.
Pengadilan Pajak merupakan generasi ketiga lahirnya
pengadilan khusus pada masa Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang kekuasaan
Kehakiman. Generasi pertamanya adalah pengadilan anak yang diikuti dengan
pengadilan niaga dan pengadilan Hak Asasi Manusia. Dapat dikatakan bahwa pada
saat itu belum ada pemikiran akan adanya pengkhususan pengadilan di lingkup
peradilan lainnya. Adapun dengan didirikannya pengadilan pajak, seperti yang
diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU
No.14 Tahun 2002), dikemudian hari ikut menambah nuansa baru dari suatu pengkhususan
pengadilan di Indonesia. Seperti diketahui secara umum, hingga detik ini di
Indonesia hanya ada 4 lingkup peradilan, yaitu peradilan Umum, Peradilan Tata
Usaha Negara, Peradilan Militer, dan Peradilan Agama. Amandemen terhadap UU No.
14 Tahun 1970 dengan UU No.35 Tahun 1999, kemudian diamandemen lagi dengan UU
No. 4 Tahun 2004 tidak mengubah ketentuan apapun. Hal ini menjadi masalah saat
munculnya keberadaan pengadilan pajak. Dengan melihat karateristik pengadilan
pajak, sekilas dapat diketahui bahwa pengadilan ini itdak mungkin masuk dalam
lingkup peradilan umum karena pengadilan pajak berfungsi menyelesaikan sengketa
warga negara yang tidak puas dengan keputusan yang diberikan oleh negara,
khususnya kantor perpajakan, baik itu didaerah dan/atau di pusat. Dengan
singkatnya, dapat disebutkan bahwa yang digugat dalam pengadilan pajak adalah
putusan dari pejabat negara (Atep Adya Bharata, 2003).
Pengadilan pajak didirikan dengan suatu asumsi bahwa upaya
peningkatan penerimaan pajak pusat dan daerah, bea masuk dan cukai, dan pajak
daerah dalam prakteknya terkadang dilakukan tanpa adanya peningkatan keadilan
terhadap para wajib pajak itu sendiri. Karenanya, si pewajib pajak seringkali
merasakan bahwa peningkatan kewajiban perpajakan/bea tidak memenuhi asas
keadilan, sehingga menimbulkan berbagai sengketa antara instansi perpajakan,
ddirasakan adanya suatu kebutuhan untuk mendirikan suatu badan peradilan khusus
untuk menanganinya.
Sebelum adanya nama pengadilan pajak sudah didirikan sebelumnya
lembaga khusus penyelesainya sengketa pajak yang dikenal dengan nama Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) sejak tahun 1998, kebutuhan untuk mendirikan
badan peradilan seperti pengadilan pajak yang sekarang, tetap ada. Dalam
butir-butir pertimbangan pada UU No. 4 Tahun 2004 dikatakan bahwa Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di
Mahkamah Agung. Karena itulah, diperlukan adanya suatu pengadilan pajak yang
sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia dan mampu menciptakan
keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak.
Kehadiran pengadilan pajak diharapkan dapat lebih memberikan
keadilan dan kepastian hukum yang tidak didapatkan dari institusi penyelesaian
sengketa pajak sebelumnya. Ekspektasi ini yang dicoba hendak dijawab oleh
pengadilan pajak. Sejak berdirinya, memang pengadilan pajak cukup diminati oleh
para pihak yang bersengketa di bidang pajak dan dianggap cukup menjanjikan
sebagai suatu badan peradilan yang baru dibentuk dalam mencari kepastian hukum.Sejak
dahulu kala, pajak pada tahun 1915 (Staatsblaad Tahun 1915 Nomor 707) yang
berkedudukan di Jakarta (Batavia pada saat itu). Kemudian, ketentuan
penyelesaian sengketa pajak Indonesia sebenarnya sudah memiliki suatu Institusi
khusus yang dikenal dengan nama institusi pertimbangan ini disempurnakan dengan
Staatsblaad Tahun 1927 Nomor 29 tentang Ordonantie Regeling van Het Beroep in
Belasting Zaken, sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1959 (Lembaran Negara Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor
1748) dengan kedudukan tetapnya di Jakarta.
Institusi pertimbangan pajak ini kemudian berganti nama menjadi
Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) yang bertugas memberi keputusan atas surat
permohonan banding tentang pajak-pajak negara dan pajak-pajak daerah. Majelis
Pertimbangan Pajak memeriksa dan memutus sengketa pajak hanya berlaku hingga
tahun 1997. Sejak awal tahun 1998, dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997
tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak, penanganan penyelesaian sengketa
pajak (banding dan gugatan) beralih ke Badan Penyelesaian Sengketa Pajak
(BPSP).
Didalam penjelasan umum Undang-Undang No.17 Tahun 1997
disebutkan bahwa Majelis Pertimbangan Pajak yang dibentuk berdasarkan Regeling
van het beroep in Belasting Zaken Stbl. Nomor 29 Tahun 1927 sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1959, tidak memadai lagi
untuk memenuhi kebutuhan dalam menyelesaikan sengketa pajak.
Sesuai perkembangan perekonomian dan pembangunan nasional untuk
lebih memberikan pelayanan kepada masyarakat, maka diperlukan lembaga peradilan
di bidang perpajakan yang lebih komprehensif untuk menjamin hak dan kewajiban
pembayar pajak berdasarkan undang-undang perpajakan. Undang-undang perpajakan
itu diharapkan dapat memberikan putusan hukum atas sengketa pajak dengan proses
yang sederhana, cepat, dan murah. Atas dasar pertimbangan-pertimbangan
tersebut, maka BPSP dibentuk.
Kompetensi Badan Penyelesaian Sengketa Pajak lebih luas
dibandingkan dengan badan peradilan pajak sebelumnya. Dalam penjelasan
Undang-Undang No. 17 tahun 1997 dinyatakan bahwa: “Badan Penyelesaian Sengketa
Pajak bukan saja menggantikan kedudukan Majelis Pertimbangan Pajak, tetapi juga
menggantikan Lembaga Pertimbangan Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud dalam UU.
No. 10 Tahun 1985 tentang Kepabeanan dan UU. No. 11 Tahun 1985 tentang Cukai.”
Sebagai lembaga peradilan, keberadaan Badan Penyelesaian
Sengketa Pajak hanya berumur 4 tahun 4 bulan 11 hari. Badan ini digantikan
dengan badan peradilan baru bernama Pengadilan Pajak, sejak diterbitkannya
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak pada tanggal 12
April 2002. Pengadilan pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 14
Tahun 2002, merupakan badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman
bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan dalam hal terjadi
sengketa pajak dengan fiskus (Dewi Karnia Sugiharti, 2005:72).
Undang-Undang Pengadilan Pajak memberikan pengertian mengenai
sengketa pajak yang terdapat dalam pasal 1 angka 5 yang berbunyi sebagai
berikut: “Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan
antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai
akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada
Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk
Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa.”
Adapun yang menjadi keputusan dijelaskan lebih lanjut dalam
pasal 1 angka 4 Undang-Undang Pengadilan Pajak, yaitu sebagai berikut:
“Keputusan adalah suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan dan dalam rangka pelaksanaan Undang-undang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.”
UU No. 14 Tahun 2002 juga memberikan pengertian mengenai pajak
dalam pasal 1 angka 2 yaitu sebagai berikut: “Pajak adalah semua jenis Pajak
yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, termasuk Bea Masuk dan Cukai, dan Pajak
yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.” Dengan pengertian pajak diatas, maka tidak ada satu jenis
sengketa pajak pun yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
dikecualikan untuk dapat diperiksa di pengadilan pajak, setelah memenuhi
persyaratan yang telah tertera dalam undang-undang. Jadi semua subyek pajak
menyelesaikan sengketa pajaknya di pengadilan pajak (Winarto Suhendro).
Di samping itu, terdapat beberapa faktor lain yang merupakan
kekhususan dari Pengadilan Pajak antara lain sebagai berikut (Adrian Suterdi):
a. Pengadilan Pajak
berkedudukan di ibukota Negara.
b. Pembinaan teknis
peradilan dilakukan oleh Mahkamah Agung, sedang pembinaan organisasi,
administrasi, dan keuangan dilakukan oleh Departemen Keuangan.
c. Proses penyelesaian
Sengketa Pajak melalui Pengadilan Pajak dalam acara pemeriksaannya hanya
mewajibkan kehadiran Terbanding atau Tergugat, sedangkan Pemohon Banding atau
Penggugat dapat menghadiri persidangan atas kehendaknya sendiri, kecuali
apabila dipanggil oleh Hakim atas dasar alasan yang cukup jelas.
d. Proses seleksi
penerimaan Hakim dilaksanakan oleh Departemen Keuangan dengan melibatkan
Mahkamah Agung.
e. Pengadilan Pajak
selain menjadi bagian integral dari kekuasaan kehakiman juga merupakan bagian
integral dari proses penerimaan Negara yang bermuara di APBN.
f. Pengadilan Pajak
merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus
Sengketa Pajak.
g. Putusan Pengadilan
Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pengadilan pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan
memutus sengketa pajak, yakni:
a. Banding atas keputusan
keberaran.
b. Gugatan atas
pelaksanaan penagihan pajak atau keputusan pembetulan.
Pengadilan pajak juga mempunyai tugas mengawasi kuasa hukum yang
memberian bantuan hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa dalam sidang
pengadilan pajak (Dewi Karnia Sugiharti, 2005:72).
Pengadilan pajak yang diatur dalam UU No. 14 Tahun 2002 ini
bersifat khusus menyangkut acara penyelenggaraan persidangan sengketa
perpajakan yaitu:
a) Sidang peradilan pajak
pada prinsipnya dilaksanakan terbuka, namun dalam hal tertentu dan khusus guna
menjaga kepentingan pemohon Banding atau tergugat, sidang dapat dinyatakan
tertutup, sedangkan pembacaan putusan Hakim Pengadilan Pajak dilaksanakan dalam
sidang yang terbuka untuk umum.
b) Penyelesaian
sengketa pajak memerlukan tenaga-tenaga Hakim khusus yang mempunyai keahlian di
bidang perpajakan dan berijasah Sarjana Hukum atau sarjana lain.
c) Sengketa yang diproses
dalam pengadilan pajak khusus menyangkut sengketa perpajakan.
d) Putusan Pengadilan
Pajak memuat penetapan besarnya pajak terutang dari wajib pajak, berupa
hitungan secara teknis perpajakan, sehingga wajib pajak langsung memperoleh
kepastian hukum tentang besarnya Pajak terutang yang dikenakan kepadanya.
Sebagai akibatnya jenis putusan pengadilan pajak , disamping jenis-jenis
putusan yang umum diterapkan pada peradilan umum, juga berupa mengabulkan
sebagian, mengabulkan seluruhnya, atau menambah jumlah pajak yang masih harus
dibayar (Wiratni Ahmadi, 2006:55)
e) Pengadilan pajak
merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus
sengketa pajak (Pasal 33 UU No. 14 Tahun 2002). Sehingga putusan pengadilan
pajak tidak dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali hanya wewenang
untuk memeriksa peninjauan kembali (PK), sebagaimana diatur dalam Pasal 89 UU
No. 14 Tahun 2002. Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan dengan alasan:
a. Apabila putusan
pengadilan pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak
lawan yang diketahui setelah perkara diputus atau didasarkan pada bukti-bukti
yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b. Apabila terdapat bukti
tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang apabila diketahui pada
tahap persidangan di pengadilan pajak akan menghasilkan putusan yang berbeda;
c. Apabila telah
dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut,
kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b dan c;
d. Apabila mengenai suatu
bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya; atau
e. Apabila terdapat suatu
putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. (Dewi Karnia Sugiharti, 2005:73).
No comments:
Post a Comment