A.
Kasus
Posisi Pelanggaran HAM berat di timor-timor yang dilakukan oleh Timbul Silaen
Secara garis besar akan
dijelaskan beberapa poin dari putusan pengadilan HAM ad Hoc Jakarta pusat atas nama para terdakwa Timbul Silaen.
·
Saat
pelanggaran HAM berat di Tim-Tim, Brigjen
GM Timbul Silaen adalah Kapolda Tim-Tim.
·
Timbul
Silaen didakwa melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) di Timtim
sebelum dan sesudah jajak pendapat 1999.
·
Timbul
Silaen dianggap telah melakukan tindakan yang tidak sesuai dalam lingkup
kewenangannya selaku kapolda. Terdakwa juga dianggap tidak mengusut
keterlibatan bawahannya dalam peristiwa penyerangan itu dan tidak menyerahkan
pelaku kerusuhan untuk kemudian diadili.
·
Dakwaan Pertama,
menyangkut bentuk perbuatan kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 7 UU No 26/2000) yang menyebutkan
Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi: (a) kejahatangenosida; (b) kejahatan terhadap kemanusiaan. Perbuatan itu dalam dakwaan yang disusun jaksa penuntut ad hoc dilakukan dalam dua bentuk berupa pembunuhan dan penganiayaan (Pasal 9 UU No 26/2000) yang menyebutkan :
Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi: (a) kejahatangenosida; (b) kejahatan terhadap kemanusiaan. Perbuatan itu dalam dakwaan yang disusun jaksa penuntut ad hoc dilakukan dalam dua bentuk berupa pembunuhan dan penganiayaan (Pasal 9 UU No 26/2000) yang menyebutkan :
Kejahatan
terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu
perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau
sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil, berupa:
1. pembunuhan;
2. pemusnahan;
3. Perbudakan;
4. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
5. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik
lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum
internasional;
6.Penyiksaan;
7. perkosaan, perbudakan seksual,
pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara
paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
8. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang
didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis
kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang
dilarang menurut hukum internasional;
9. penghilangan
orang secara paksa;
10.
kejahatan
apartheid sebagai bagian dari serangan yang meluas atau
sistematik (yang diketahui bahwa serangan) ditujukan terhadap penduduk sipil.
·
Kedua, berkaitan dengan tanggung jawab komando (command responsibility) dari
para terdakwa baik dari kalangan militer maupun sipil. Sebagai atasan para
terdakwa didakwa tidak mampu melakukan pengendalian yang efektif secara patut
dan benar (Pasal 42 UU No 26/2000) :
(1)
Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan
militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam
yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah
komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya
yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan
pengendalian pasukan secara patut, yaitu :
a.
komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan
saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau
baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
b. komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
(2) Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni :
a. atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
b. komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
(2) Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni :
a. atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
b.
atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang
lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau
menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
(3) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diancam dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40.
(3) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diancam dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40.
Dari dua dakwaan di atas, majelis hakim berpendapat -setelah mendengar
keterangan para saksi dalam persidangan- dakwaan itu sama sekali tidak
terbukti, baik untuk Timbul Silaen maupun untuk Herman Sedyono dan kawan-kawan.
·
JPU menuntut hukuman penjara 10 tahun 6
bulan.
·
Tuntutan dibacakan
Jaksa Penuntut Umum, James Pardede, dalam persidangan di PN Jakarta Pusat,
kamis (25/7). Menurut
Pardede, Silaen terbukti melakukan pelanggaran HAM berat berupa pembunuhan dan
penganiayaan. Alasannya, sebagai atasan, ia terbukti tidak melakukan
pengendalian yang efektif secara patut dan benar. Tak hanya itu, Timbul juga
terbukti mengabaikan informasi yang menunjukkan bawahannya melakukan
pelanggaran HAM berat. Kasus pelanggaran HAM yang dimaksud Pardede terjadi di
Liquisa, Suai, dan Dili pada April dan September 1999. Buntutnya, 41 orang
meregang nyawa.
·
Timbul
kemudian dinyatakan tidak bersalah. Ada dua alasan. Pertama, sejak 6 September
1999, kewenanganan dan tanggung jawabnya sebagai kapolda Timtim sudah berpindah
ke pangkoops atau pengendali militer di Timtim. Alasan kedua,
penyerangan-penyerangan di berbagai tempat seperti yang didakwakan tidak
terbukti dilakukan oleh polisi.
·
Dalam
pertimbangan putusannya, majelis hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc
untuk Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia di Timor Timur mengatakan bahwa para
terdakwa tidak terbukti melakukan pelanggaran HAM berat. Putusan tersebut
berbeda dengan putusan terhadap terdakwa mantan Gubernur Timor Timur Abilio J.
Soares sehari sebelumnya, yang diputuskan bersalah.
·
Timbul
Silaen yang divonis bebas pada tanggal 5 Agustus 2002.
B.
Analisis
mengenai Putusan Pengadilan HAM ad Hoc mengenai Pelanggaran HAM berat di
Timor-timor yang dilakukan oleh Timbul Silaen
Berdasarkan
hasil penyelidikan yang dilakukan KPP-HAM Timtim yang dilaporkan pada tanggal
31 Januari 2000, disimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia
yang berat di Timtim yang meliputi pembunuhan, pemusnahan, perbudakan,
pengusiran, dan pemindahan paksa serta tindakan tidak manusiawi lainnya
terhadap penduduk sipil. Dalam laporan tersebut juga ditemukan fakta bahwa
menurut KPP-HAM Timtim, terdapat sejumlah nama yang berjumlah 33 orang yang
diduga keras terlibat dalam berbagai aksi pelanggaran berat HAM yang terjadi di
Timtim pada periode tahun 1999.
Jika
dilihat dari latar historis pembentukannya, Pengadilan HAM a.d hoc untuk
Kasus Timtim lahir atas desakan dan tuntutan baik yang datang dari dalam negeri
maupun dari dunia internasional atas peristiwa kekerasan yang terjadi di Timtim
menjelang dan setelah diadakannya jajak pendapat di Timtim pada tanggal 30
Agustus 1999.
Desakan
yang datang dari dunia internasional itu antara lain dapat dilihat dari
dikeluarkannya Resolusi DK PBB No. 1264 tanggal 15 September 1999. Resolusi DK
PBB tersebut pada pokoknya berisi desakan kepada Pemerintah RI untuk mengadili
mereka yang bertanggung jawab atas serangkaian kasus kekerasan yang terjadi di
Timor Timur tahun 1999 melalui Pengadilan HAM.
Namun
begitu langkah yang diambil pemerintah ini, terepas dari segala kekurangannya,
patut diapresiasi. Inilah Pengadilan HAM (walaupun bersifat ad. hoc) yang dalam
sejarah perkembangan HAM di Indonesia tercatat sebagai yang pertama. Upaya
untuk membawa dugaan kasus pelanggaran berat terhadap HAM melalui Pengadilan
HAM ini sekurang-kurangnya menunjukan itikad dari bangsa Indonesia sebagai
bagian dari masyarakat internasional untuk mengutuk dan tidak
membiarkan (impunity) terjadinya kejahatan serius yang mengancam hak asasi
manusia.
Banyak
kalangan menyatakan bahwa pengadilan ini telah gagal, bahkan selama proses
pengadilan berjalan, kritik telah muncul berkaitan dengan kinerja pengadilan
yang berada dibawah standar pengadilan internasional. Pandangan yang lain
menyatakan bahwa pengadilan ini memang sejak awal sengaja diupayakan untuk
mengalami kegagalan. Beberapa kasus dalam Pengadilan HAM memang secara
prosedural belum selesai karena masih ada proses selanjutnya yaitu ada tingkat
banding maupun kasasi, sehingga penilaian atas proses peradilan yang terjadi
belum bisa dikatakan lengkap.
Ketidak
berhasilan pengadilan HAM ini, selain bebasnya para terdakwa, juga tidak mampu
memenuhi hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat. Hak-hak korban yang
meliputi hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sampai saat ini tidak
satupun yang diterima oleh korban. Padahal secara jelas bahwa para korban
pelanggaran HAM yang berat berhak mendapat kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi berdasarkan pasal 35 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Salah
satu terdakwa yang mendapat vonis bebas adalah Timbul Silaen. Brigjen Polisi
Timbul Silaen dituntut pidana penjara 10 tahun 6 bulan dalam sidang perkara
pelanggaran HAM di Timor Timur pra dan pasca jajak pendapat tahun 1999. Tuntutan
dibacakan Jaksa Penuntut Umum, James Pardede, dalam persidangan di PN Jakarta
Pusat, Kamis (25/7). Menurut Pardede, Silaen terbukti melakukan
pelanggaran HAM berat berupa pembunuhan dan penganiayaan. Alasannya, sebagai
atasan, ia terbukti tidak melakukan pengendalian yang efektif secara patut dan
benar. Tak hanya itu, Timbul juga terbukti mengabaikan informasi yang
menunjukkan bawahannya melakukan pelanggaran HAM berat. Kasus pelanggaran HAM
yang dimaksud Pardede terjadi di Liquisa, Suai, dan Dili pada April dan
September 1999. Buntutnya, 41 orang meregang nyawa.
Namun,
Timbul silaen dibebaskan dari dakwaan gagal mengendalikan anak buahnya dan
gagal bertindak untuk menghentikan kekerasan yang pecah di berbagai daerah
Timor Timur pada tahun 1999. Majelis hakim memutuskan mereka tidak bisa
membuktikan bahwa Timbul Silaen mengabaikan informasi yang menyatakan telah
terjadi pelanggaran HAM atau bahwa para perwira bawahannya terlibat dalam
pelanggaran HAM. Pengadilan mengatakan terdakwa telah bertindak sesuai dengan
hukum dan berperan maksimal sebagai pihak yang netral dalam melaksanakan fungsi
keamanan dan ketertiban.
Majelis
hakim mengatakan, anak buah Brigjen Silaen tidak terbukti ikut ambil bagian
dalam pelanggaran-pelanggaran HAM sebagaimana dituduhkan, dan mantan Kapolda
TimTim itu tidak bersalah mengabaikan informasi mengenai terjadinya pelanggaran
HAM. Pertama, sejak 6 September 1999, kewenanganan dan tanggung jawabnya
sebagai kapolda Timtim sudah berpindah ke pangkoops atau pengendali militer di
Timtim. Alasan kedua, penyerangan-penyerangan di berbagai tempat seperti yang
didakwakan tidak terbukti dilakukan oleh polisi.
Peraturan yang di pakai untuk menjerat terdakwa Timbul Silaen
adalah Pasal 7, pasal 9 dan pasal 42 UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia. Namun karna kurang kuatnya bukti yang diajukan oleh Jaksa
Penuntut, Timbul silaen dinyatakan tidak bersalah dan mendapat vonis bebas.
Menurut analisis kami berdasarkan beberapa sumber artikel dan
pendapat dari berbagai kalangan, yang menjadi dakwaan dari JPU sendiri adalah
merujuk pada kesalahan dari anak buah Timbul Silaen. Dimana otak atau dalang
dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh anak buahnya dianggap sepengetahuan
dan atas izin serta perintah dari atasannya yaitu Timbul Silaen. Namun, yang
menjadi kendala kami dalam menganalisis kasus ini adalah kurangnya sumber yang
kami pakai, kami tidak bisa memberikan analisa secara jelas dikarenakan putusan
pengandilan HAM ad hoc dengan terdakwa Timbul Silaen tidak kami temukan.
Yang dapat kami temukan dalam hal kasus ini adalah kurang
matangnya pengadilan HAM ad hoc yang pada saat itu memang merupakan pengadilan
HAM ad hoc pertama yang di bentuk untuk menyelesaikan kasus ini. Timbul Silaen
sendiri adalah salah satu orang yang menjadi terdakwa dan di bebaskan karna
dianggap tidak bersalah. Dalam hal ini sudah barang tentu adanya pro dan kontra
terhadap putusan Majelis Hakim tersebut. Sebagian berpendapat bahwa ada
kelemahan dalam UU No. 26 Tahun 2000, lebih jelasnya dalam Pasal 42 :
(1)
Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan
militer dapat dipertanggungjawabkan
terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang
dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang
efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana
tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara
patut.
Dalam pasal tersebut terdapat kata
“dapat” hal ini yang dianggap melemahkan dalam UU No. 26 Tahun 2000 . dapat
diartikan menjadi dua pilihan, bisa iya bisa tidak. Ada juga yang berpendapat
terjadi diskriminasi hukum dalam proses pengadilan ini.
Namun
pada dasarnya putusan itu sepenuhnya merupakan kemerdekaan
hakim untuk menentukannya berdasarkan bukti-bukti dan keyakinannya. Jadi, tidak
lah perlu mempersoalkan putusan bebas yang diperoleh para terdakwa selama
proses persidangannya dijalankan diatas mekanisme hukum yang benar, fair, dan
terbuka. Apalagi jika kritik itu ditujukan seolah-olah bahwa siapa pun yang
menjadi terdakwa dalam kasus dugaan pelanggaran berat terhadap HAM yang diadili
di muka Pengadilan HAM “harus” dinyatakan bersalah dan “harus” di hukum. Jika
paradigma berfikir kita seperti itu maka jelas pemikiran itu sudah tidak dapat
disebut sebagai pemikiran kritis lagi melainkan pemikiran yang kebablasan dan
tidak dapat diterima dalam logika hukum.
No comments:
Post a Comment