Sunday, 15 October 2017

KASUS POSISI PELANGGARAN HAM BERAT TIMOR-TIMOR YANG DILAKUKAN OLEH TIMBUL SILAEN

A.    Kasus Posisi Pelanggaran HAM berat di timor-timor yang dilakukan oleh Timbul Silaen
Secara garis besar akan dijelaskan beberapa poin dari putusan pengadilan HAM ad Hoc Jakarta pusat atas nama para terdakwa Timbul Silaen.
·         Saat pelanggaran HAM berat di Tim-Tim,  Brigjen GM Timbul Silaen adalah Kapolda Tim-Tim.
·         Timbul Silaen didakwa melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) di Timtim sebelum dan sesudah jajak pendapat 1999.
·         Timbul Silaen dianggap telah melakukan tindakan yang tidak sesuai dalam lingkup kewenangannya selaku kapolda. Terdakwa juga dianggap tidak mengusut keterlibatan bawahannya dalam peristiwa penyerangan itu dan tidak menyerahkan pelaku kerusuhan untuk kemudian diadili.
·         Dakwaan Pertama, menyangkut bentuk perbuatan kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 7 UU No 26/2000) yang menyebutkan
Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi: (a) kejahatangenosida; (b) kejahatan terhadap kemanusiaan.
Perbuatan itu dalam dakwaan yang disusun jaksa penuntut ad hoc dilakukan dalam dua bentuk berupa pembunuhan dan penganiayaan (Pasal 9 UU No 26/2000) yang menyebutkan :
Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
1. pembunuhan;
2. pemusnahan;
3. Perbudakan;
4. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
5. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
6.Penyiksaan;
7.  perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
8. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
9.  penghilangan orang secara paksa;
10.                  kejahatan apartheid sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik (yang diketahui bahwa serangan) ditujukan terhadap penduduk sipil.
·         Kedua, berkaitan dengan tanggung jawab komando (command responsibility) dari para terdakwa baik dari kalangan militer maupun sipil. Sebagai atasan para terdakwa didakwa tidak mampu melakukan pengendalian yang efektif secara patut dan benar (Pasal 42 UU No 26/2000) :
(1) Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut, yaitu :
a. komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
b. komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
(2) Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni :
a. atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
b. atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
(3) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diancam dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40.
Dari dua dakwaan di atas, majelis hakim berpendapat -setelah mendengar keterangan para saksi dalam persidangan- dakwaan itu sama sekali tidak terbukti, baik untuk Timbul Silaen maupun untuk Herman Sedyono dan kawan-kawan.
·         JPU menuntut hukuman penjara 10 tahun 6 bulan.
·         Tuntutan dibacakan Jaksa Penuntut Umum, James Pardede, dalam persidangan di PN Jakarta Pusat, kamis (25/7). Menurut Pardede, Silaen terbukti melakukan pelanggaran HAM berat berupa pembunuhan dan penganiayaan. Alasannya, sebagai atasan, ia terbukti tidak melakukan pengendalian yang efektif secara patut dan benar. Tak hanya itu, Timbul juga terbukti mengabaikan informasi yang menunjukkan bawahannya melakukan pelanggaran HAM berat. Kasus pelanggaran HAM yang dimaksud Pardede terjadi di Liquisa, Suai, dan Dili pada April dan September 1999. Buntutnya, 41 orang meregang nyawa. 
·         Timbul kemudian dinyatakan tidak bersalah. Ada dua alasan. Pertama, sejak 6 September 1999, kewenanganan dan tanggung jawabnya sebagai kapolda Timtim sudah berpindah ke pangkoops atau pengendali militer di Timtim. Alasan kedua, penyerangan-penyerangan di berbagai tempat seperti yang didakwakan tidak terbukti dilakukan oleh polisi.
·         Dalam pertimbangan putusannya, majelis hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc untuk Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia di Timor Timur mengatakan bahwa para terdakwa tidak terbukti melakukan pelanggaran HAM berat. Putusan tersebut berbeda dengan putusan terhadap terdakwa mantan Gubernur Timor Timur Abilio J. Soares sehari sebelumnya, yang diputuskan bersalah. 
·         Timbul Silaen yang divonis bebas pada tanggal 5 Agustus 2002.

B.       Analisis mengenai Putusan Pengadilan HAM ad Hoc mengenai Pelanggaran HAM berat di Timor-timor yang dilakukan oleh Timbul Silaen
Berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan KPP-HAM Timtim yang dilaporkan pada tanggal 31 Januari 2000, disimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat di Timtim yang meliputi pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran, dan pemindahan paksa serta tindakan tidak manusiawi lainnya terhadap penduduk sipil. Dalam laporan tersebut juga ditemukan fakta bahwa menurut KPP-HAM Timtim, terdapat sejumlah nama yang berjumlah 33 orang yang diduga keras terlibat dalam berbagai aksi pelanggaran berat HAM yang terjadi di Timtim pada periode tahun 1999.
Jika dilihat dari latar historis pembentukannya, Pengadilan HAM a.d hoc untuk Kasus Timtim lahir atas desakan dan tuntutan baik yang datang dari dalam negeri maupun dari dunia internasional atas peristiwa kekerasan yang terjadi di Timtim menjelang dan setelah diadakannya jajak pendapat di Timtim pada tanggal 30 Agustus 1999.
Desakan yang datang dari dunia internasional itu antara lain dapat dilihat dari dikeluarkannya Resolusi DK PBB No. 1264 tanggal 15 September 1999. Resolusi DK PBB tersebut pada pokoknya berisi desakan kepada Pemerintah RI untuk mengadili mereka yang bertanggung jawab atas serangkaian kasus kekerasan yang terjadi di Timor Timur tahun 1999 melalui Pengadilan HAM.
Namun begitu langkah yang diambil pemerintah ini, terepas dari segala kekurangannya, patut diapresiasi. Inilah Pengadilan HAM (walaupun bersifat ad. hoc) yang dalam sejarah perkembangan HAM di Indonesia tercatat sebagai yang pertama. Upaya untuk membawa dugaan kasus pelanggaran berat terhadap HAM melalui Pengadilan HAM ini sekurang-kurangnya menunjukan itikad dari bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional untuk mengutuk dan tidak membiarkan (impunity) terjadinya kejahatan serius yang mengancam hak asasi manusia.
Banyak kalangan menyatakan bahwa pengadilan ini telah gagal, bahkan selama proses pengadilan berjalan, kritik telah muncul berkaitan dengan kinerja pengadilan yang berada dibawah standar pengadilan internasional. Pandangan yang lain menyatakan bahwa pengadilan ini memang sejak awal sengaja diupayakan untuk mengalami kegagalan. Beberapa kasus dalam Pengadilan HAM memang secara prosedural belum selesai karena masih ada proses selanjutnya yaitu ada tingkat banding maupun kasasi, sehingga penilaian atas proses peradilan yang terjadi belum bisa dikatakan lengkap.
Ketidak berhasilan pengadilan HAM ini, selain bebasnya para terdakwa, juga tidak mampu memenuhi hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat. Hak-hak korban yang meliputi hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sampai saat ini tidak satupun yang diterima oleh korban. Padahal secara jelas bahwa para korban pelanggaran HAM yang berat berhak mendapat kompensasi, restitusi dan rehabilitasi berdasarkan pasal 35 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Salah satu terdakwa yang mendapat vonis bebas adalah Timbul Silaen. Brigjen Polisi Timbul Silaen dituntut pidana penjara 10 tahun 6 bulan dalam sidang perkara pelanggaran HAM di Timor Timur pra dan pasca jajak pendapat tahun 1999. Tuntutan dibacakan Jaksa Penuntut Umum, James Pardede, dalam persidangan di PN Jakarta Pusat, Kamis (25/7). Menurut Pardede, Silaen terbukti melakukan pelanggaran HAM berat berupa pembunuhan dan penganiayaan. Alasannya, sebagai atasan, ia terbukti tidak melakukan pengendalian yang efektif secara patut dan benar. Tak hanya itu, Timbul juga terbukti mengabaikan informasi yang menunjukkan bawahannya melakukan pelanggaran HAM berat. Kasus pelanggaran HAM yang dimaksud Pardede terjadi di Liquisa, Suai, dan Dili pada April dan September 1999. Buntutnya, 41 orang meregang nyawa. 
Namun, Timbul silaen dibebaskan dari dakwaan gagal mengendalikan anak buahnya dan gagal bertindak untuk menghentikan kekerasan yang pecah di berbagai daerah Timor Timur pada tahun 1999. Majelis hakim memutuskan mereka tidak bisa membuktikan bahwa Timbul Silaen mengabaikan informasi yang menyatakan telah terjadi pelanggaran HAM atau bahwa para perwira bawahannya terlibat dalam pelanggaran HAM. Pengadilan mengatakan terdakwa telah bertindak sesuai dengan hukum dan berperan maksimal sebagai pihak yang netral dalam melaksanakan fungsi keamanan dan ketertiban.
Majelis hakim mengatakan, anak buah Brigjen Silaen tidak terbukti ikut ambil bagian dalam pelanggaran-pelanggaran HAM sebagaimana dituduhkan, dan mantan Kapolda TimTim itu tidak bersalah mengabaikan informasi mengenai terjadinya pelanggaran HAM. Pertama, sejak 6 September 1999, kewenanganan dan tanggung jawabnya sebagai kapolda Timtim sudah berpindah ke pangkoops atau pengendali militer di Timtim. Alasan kedua, penyerangan-penyerangan di berbagai tempat seperti yang didakwakan tidak terbukti dilakukan oleh polisi.
Peraturan yang di pakai untuk menjerat terdakwa Timbul Silaen adalah Pasal 7, pasal 9 dan pasal 42 UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Namun karna kurang kuatnya bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut, Timbul silaen dinyatakan tidak bersalah dan mendapat vonis bebas.
Menurut analisis kami berdasarkan beberapa sumber artikel dan pendapat dari berbagai kalangan, yang menjadi dakwaan dari JPU sendiri adalah merujuk pada kesalahan dari anak buah Timbul Silaen. Dimana otak atau dalang dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh anak buahnya dianggap sepengetahuan dan atas izin serta perintah dari atasannya yaitu Timbul Silaen. Namun, yang menjadi kendala kami dalam menganalisis kasus ini adalah kurangnya sumber yang kami pakai, kami tidak bisa memberikan analisa secara jelas dikarenakan putusan pengandilan HAM ad hoc dengan terdakwa Timbul Silaen tidak kami temukan.
Yang dapat kami temukan dalam hal kasus ini adalah kurang matangnya pengadilan HAM ad hoc yang pada saat itu memang merupakan pengadilan HAM ad hoc pertama yang di bentuk untuk menyelesaikan kasus ini. Timbul Silaen sendiri adalah salah satu orang yang menjadi terdakwa dan di bebaskan karna dianggap tidak bersalah. Dalam hal ini sudah barang tentu adanya pro dan kontra terhadap putusan Majelis Hakim tersebut. Sebagian berpendapat bahwa ada kelemahan dalam UU No. 26 Tahun 2000, lebih jelasnya dalam Pasal 42 :
 (1) Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut.
Dalam pasal tersebut terdapat kata “dapat” hal ini yang dianggap melemahkan dalam UU No. 26 Tahun 2000 . dapat diartikan menjadi dua pilihan, bisa iya bisa tidak. Ada juga yang berpendapat terjadi diskriminasi hukum dalam proses pengadilan ini.

            Namun pada dasarnya putusan itu sepenuhnya merupakan kemerdekaan hakim untuk menentukannya berdasarkan bukti-bukti dan keyakinannya. Jadi, tidak lah perlu mempersoalkan putusan bebas yang diperoleh para terdakwa selama proses persidangannya dijalankan diatas mekanisme hukum yang benar, fair, dan terbuka. Apalagi jika kritik itu ditujukan seolah-olah bahwa siapa pun yang menjadi terdakwa dalam kasus dugaan pelanggaran berat terhadap HAM yang diadili di muka Pengadilan HAM “harus” dinyatakan bersalah dan “harus” di hukum. Jika paradigma berfikir kita seperti itu maka jelas pemikiran itu sudah tidak dapat disebut sebagai pemikiran kritis lagi melainkan pemikiran yang kebablasan dan tidak dapat diterima dalam logika hukum.

No comments:

Post a Comment

SURAT 1 UNTUK "LISNA VER. BANDUNG"KU

20 Maret 2018  14:27 WIB Hari ini seminggu mm bukan, 6 hari lebih tepatnya sebelum aku resmi bukan lagi penghuni kosan ini. ...