A. SENGKETA
DAN DINAMIKA PENYELESAIANNYA
Hukum
dapat di fungsikan untuk meredam atau menyelesaikan suatu konflik social
kemasyarakatan dan sekaligus memberikan solusi dalam penyelesaian suatu konflik
social kemasyarakatan yang terjadi di dalam masyarakat. Sebuah konflik akan
berubah menjadi sengketa apabila tidak terselesaikan. Konflik dapat diartikan
“pertentangan” di antara para pihak untuk menyelesaikan masalah yang kalau
tidak diselesaikan dengan baik, dapat mengganggu hubungan di antara mereka.
Penyelesaian
sengketa dapat dilakukan melalui beberapa cara yang pada dasarnya keberadaan
cara penyelesaian sengketa sesuai keberadaan manusia itu sendiri. Penyelesaian
sengketa di luar badan-badan pengadilan umumnya dilakukan terbatas pada
perkara-perkara keperdataan dan dagang saja. Sedangkan untuk perkara lainnya
seperti pidana tetap harus diselesaikan melalui badan-badan pengadilan
berhubung menyangkut kepentingan umum atatu bukan kepentingan privat.
ADR
merupakan istilah yang pertama kali muncul di Amerika Serikat. Konsep ini
merupakan jawaban atas ketidakpuasan (dissatisfaction) yang muncul di
masyarakat Amerika Serikat terhadao system pengadilan mereka. Pada intinya ADR
dikembangkan, baik oleh para praktisi hukum maupun para akademisi sebagai cara
penyelesaian sengketa yang lebih memiliki akses pada keadilan. Dengan demikian,
proses litigasi merupakan pilihan terakhir menyelesaikan sengketa.
B. PERISTILAHAN
DAN PENGERTIAN ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION (ADR)
ADR
merupakan suatu istilah asing yang perlu dicarikan padananya dalam bahasa
Indonesia. Berbagai istilah dalm bahasa Indonesia telah di perkenalkan pada
berbagai forum oleh berbagai pihak, seperti pilihan penyelesaian sengketa
(PPS), mekanisme alternative penyelesaian sengketa (MAPS), pilihan penyelesaian sengketa di luar
pengadilan, dan mekanisme penyelesaian sengketa secara kooperatif. Selain itu
ADR, diartikan dengan “pengelolaan konflik secara kooperatif”. Dengan demikian,
dilihat dari beberapa peristilahan di atas, sesungguhnya ADR merupakan
penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dilakukan secara damai.
Undang-undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternative penyelesaian sengketa
sebagai dasar pelembagaan ADR di Indonesia, di samping mengatur secara panjang
lebar tentang arbitrase, memperlihatkan pada kita bahwa sebenarnya
undang-undang tersebut juga menekankan kepada penyelesaian sengketa alternative
berbentuk mediasi. Bahkan, tidak menutup kemungkinan penyelesaian sengketa
melalui alternative-alternatif lain.
C. PERKEMBANGAN
DAN POTENSIALITAS ALTERNATIF DISPUTE RESOLUTION (ADR)
Penyelesaian sengketa
ini dapat dilakukan melalui proses ajudikasi atau alternative disputes
resolution (ADR), alternative penyelesaian sengketa (APES), Pilihan
penyelesaian sengketa ( PPS), Mekanisme alternative penyelesaian sengketa
(MAPS), penyelesaian sengketa secara kooperatif (PSK) atau pengelolaan konflik
secara kooperatif (PKK). Ajudikasi merupakan cara penyelesaian suatu sengketa
melalui lembaga peradilan, sedangkan ADR adalah lembaga penyelesaian sengket
atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yaitu
penyelesaian sengketa diluar lembaga peradilan dengan cara seperti:
1. Konsultasi
2. Negosiasi
(negotiation)
3. Mediasi
4. Konsiliasi
5. Penilaian ahli
Sementara itu
penyelesaian sengketa melalui prosedur ajudikasi yaitu penyelesaian sengketa
melalui proses :
1. Litigasi
2. Arbitrase
3. Mediasi-abritrase
4. Hakim partikelir
Cristopher W Moore dan
James Creighton menyatakan keputusan untuk menggunakan ADR paling tidak
memerlukan dua keputusan pertimbangan, yaitu prosedur ADR lebih tepat guna
daripada prosedur administrative dan prosedur hukum biasa dan menentukan
prosedur ADR yang mana yang paling tepat untuk jenis sengketa yang dihadapi.
Untuk itu butuh proses analisa yang matang. Tujuan dilakukannya proses analisis
tersebut untuk memastikan bahwa kita membuat satu perhitungan yang hati-hati
mengenai persediaan jumlah sumber daya, baik berupa staf, waktu, maupun
kredibilitas yang akan kita berikan dalam menangani satu persengketaan, sambil
terus mempergitungkan keuntungan potensial yang mungkin akan timbul.
D. PELEMBAGAAN
ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION (ADR)
Kecenderungan
masyarakat di dunia untuk mendayagunakan ADR dilandasi oleh berbagai faktor
yang menempatkannya memiliki berbagai keunggulan seperti halnya :
1. Faktor ekonomis
2. Faktor luasnya ruang
lingkup permasalahan yang dapat dibahas
3. Faktor pembinaan
hubungan baik para pihak
4. Faktor proses
Pelembagaan
Alternative Dispute Resolution di beberapa Negara :
a.
Amerika serikat
Masyarakat Amerika sudah jemu
mencari penyelesaian sengketa melalui ligitasi (badan peradilan), mereka tidak
puas dengan sistem peradilan. Bertitik tolak dari kenyataan tersebut mereka
menciptakan ADR sebgai pilihan. ADR sebagai upaya utama sedangkan ligitasi
ditembatkan sebagai upaya akhir.
1. Arbitrase Intitusional
Di Amerika, pusat arbitrase
institusional adalah American Arbitrase Association(AAA). Lembaga
ini didirikan tahun 1926, bersifat nonprofit dan nongoverment, cara
penyelesaian berdasarkan klasual arbitrase dan keputusanya bersifat mengikat.
2. Compulsory Arbitrase System
Sistem penyelesaian sengketa yang
memadu secara koneksitas antara arbitrase dan pengadilan. Jika para pihak dapat
menerima keputusan arbitrase, keputusan itu dikukuhkan di pengadilan.
Sebaliknya, kalau kepusan arbitrase tidak di terima maka sengketa di bawa ke
pngadilan.
3. Mediation
Yaitu penyelesaian sengketa dengan jalur perundingan yang
melibatkan mediator yang berperan menjadi penengah.
4. Conciliation
Adalah sistem tahap awal proses mediasi dengan acuan
penerapan “apabila seorang diajukan kepada proses mediasi dan tuntutan yang
diajuka claimantsdapat iterima dalam kedudukanya sebagai respondent.
5. Mini Trial
Mini trial( persidangan mini) adalah salah satu bentuk ADR yang
populer di masyarakat amerika. Proses penyelesaianya terdiri dari 5 tahap
yakni: (1) persetujuan Mini Trial, (2) persiapan kasus, (3) mendengarkan
keterangan, (4)Advisor memberi pendapat, (5) mendikusikan penyelesaian.
6. Summary Jury Trial
Yakni pemeriksaan juri secara sumir merupakan suatu sarana
untuk menhemat waktu pengadilan dan sumber daya, dan proses ini mirip dengan
proses litigasi penuh.
7. Settlement Conference
Siste ini mirip dengan yang diatur Pasal 113 HIR tentang
perdamaian oleh hakim dikoneksitas dengan proses acara peradilan.
B.
Jepang
1.
Arbitrase
Perkeembangan Arbitrase jepang
ditandai dengan berdirinya lembaga-lebaga Arbitrase sebagai berikut:
a) Pusat arbitrase institusional
adalah the japan Comercial Arbitration Association(JCAA) dan UNCITRAL Arbitration
Rule, yang bersifat domestik dan internasional. Proses penyelesaian
dalam lembaga ini meanggunakan sistem koneksitas antara mediasi, dan arbitrase.
b) Labour Commision, Didirikan pada tahun 1945. Komisi
ini menangani yurisdiksi sengketa perburuan dan proses penyelesaianya melalui
sistem koneksitas antara mediasi, konsiliasi, dan arbitrase.
c) The Comisition for Adjustment of
Contruction Work Dispute,didirikan
tahun 1956. Yurisdiksi komisi ini adalah sengketa kontruksi. Penyelesaian
sengketa yang digunakan adalah sistem koneksitas antara mediasi, konsiliasi,
dan arbitrase.
d) The Environmental Dispute
Coordination Commission, didirikan pada tahun 1972. Yurisdiksi komisi ini adalah
sengketa lingkungan. Penyelesaian sengketa yang digunakan adalah sistem
koneksitas antara mediasi, konsiliasi, dan arbitrase.
e) Arbitrase Center of Local Bar
Association, didirikan
pada tahun 19790. Yurisdiksi komisi ini adalah sengketa kecil (small claim).
Penyelesaian sengketa yang digunakan adalah sistem koneksitas antara
konsiliasi, dan arbitrase.
f) The Center Of Handling Traffic
Dispute, didirikan
pada tahun 1978. Yurisdiksi komisi ini adalah sengketa lalu lintas.
Penyelesaian sengketa yang digunakan adalah sistem koneksitas antara
konsiliasi, dan rekomendasi.
2.
Mediasi
Di Jepang Mediasi cukup populer,
namun sistemnya selalu bersifat koneksitas dengan konsiliasi dan arbitrase.
Bila mediasi gagal proses sengketa tidak langsung dihentikan, tapi dilanjutkan
dengan konsiliasi dan mediatorbertindak sebagai konsiliator. Bila konsiiasi
juga gagal, proses penyelesaian langsung melalui arbitrase dan konsiliator
bertindak sebagai arbitrase.
C.
Korea Selatan
Perkembangan bentuk ADR di Korea
Selatan hampir sama dengan jepang. ADR yang menonjol dan populer adalah
Arebitrase. Pusat arbitrase nasional adalah The Korean Commercial
Arbitrase Board yang didirikan pada tahun 1966. Sistem
penyelesaianya adalah koneksitas antara mediasi, konsiliasi, dan arbitrase.tipe
penyelesaian ini bersifat domestik dan internasional.
D.
Australia
Di tinjau dari sejarah, ADR di
Australia baru muncul belakangan jika dibandingkan Ameria dan Korea Selatan.
Akan tetapi perkembanganya sangat mengejutkan.
a.
Pengembangan
Organisasi ADR di Australia.
Pengembangan ADR di Australia beru
sampai pada tahap konsolidasi dan berada dalam wadah yang disebut Center
For Dispute Resolution, didirikan pada tahun 1988. Lembaga ini bernaung ddi
bawah University of Technology, Sydney yang berkerja sama
dengan faculty of law and lega practice aand business.
A R B I T R A S E
A.
PENGERTIAN
ARBITRASE
Kata
arbitrase berasal dari kata arbitrare (Belanda), arbitration (Inggris), schiedspruch (Jerman) dan arbitrage (Perancis) yang berarti
kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijakan atau damai oleh arbiter
wasit.
·
R. Subekti
Arbitrase adalah
penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim
berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati
keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau
tunjuk tersebut.
·
Blacks Law Dictionary
Arbitration is the
reference of a dispute to an impartial (third) person chosen by the parties to
the dispute who agree in advance to abide by the arbitrator’s award issued
after hearing at which both parties have an opportunity to be heard. An
arrangement for taking and abiding by the judgement of selected person in some
disputed matter, istead of carrying it to establish tribunal of justice, and is
intended to avoid the formalities, the delay, the expense and taxation of
ordinary litigation.
·
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Arbitrase adalah usaha
perantara dalam meleraikan sengketa atau peradilan wasit. Orang yang disepakati
oleh kedua belah pihak yang bersengketa untuk memberikan keputusan yang akan
ditaati oleh kedua belah pihak yang disebut arbiter.
·
Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 1999
Tentang AAPS
Arbitase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa.
B.
POTENSIALITAS
DAN KELEMAHAN ARBITRASE DIBANDINGKAN DENGAN LITIGASI
Roedjiono
menyatakan daya tarik relatif dari arbitrase adalah refleksi dari
kelemahan-kelemahan litigasi. Prosesnya bilamana secara tepat dilaksanakan,
menjanjikan party autonomy yang maksimal, campur tangan yang minimal dari
pengadilan dan berkaitan dengan arbitrase internasional, pengakuan dan
pelaksanaan putusan peradilan wasit. Arbitrase memberikan beberapa keunggulan
diantaranya pemilihan arbiter oleh para pihak (pemilihan ahli yang diinginkan);
keterbatasan upaya hukum atas putusan arbiter; kerahasiaan; kenyamanan para
pihak; prosedur yang tidak formal; dan eksekusi putusan arbiter sebagai vonis.
Kelebihan
arbitrase adalah:
1. Dijamin
kerahasiaan sengketa para pihak
2. Dapat
dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif
3. Para
pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan,
pengalaman, latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan,
secara jujur dan adil
4. Para
pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta
proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase
5. Putusan
arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata
cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan
Kelemahan
arbitrase dan ADR, yaitu:
1. Aritrase
belum dikenla secara luas, baik oleh msyarakat awam maupun masyarakat bisnis,
bahkan oleh masyarakat akademis sendiri. Sebagai contoh, masyarakat masih banyak yang belum mengetahui
keberadaan dan kiprah dari embaga-lembaga seperti BANI,Basyarnas dan P3BI
2. Masyarakat
belum menaruh kepercayaan yang memadai sehingga enggan memasukan perkaranya
kepada lembaga-lembaga arbitrase
3. Lembaga
arbitrase dan ADR tidak mempunyai daya paksa atau kewenangan melakukan eksekusi
putusannya
4. Kurangnya
kepatuhan para pihak terhadap hasil-hasil penyelesaian yang dapat dicapai dalam
arbitrase sehingga mereka sering kali mengingkari dengan berbagai cara, baik
dalam teknik mengulur-ulur waktu, perlawanan, gugatan pembatalan, dsb
5. Kurangnya
para pihak memegang etika bisnis
C.
PERKEMBANGAN
HUKUM ARBITRASE DI INDONESIA
Pada
zaman Hindia Belanda, arbitrase dipakai oleh para pedagang, baik sebagai
eksportir maupun importer dan pengusaha lainnya. Pada waktu itu ada 3 badan
arbitrase tetap yang dibentuk oleh pemerintah Belanda, yaitu badan arbitrase
bagi badan ekspor hasil bumi Indonesia, badan arbitrase tentang kebakaran,
badan arbitrase bagi asuransi kecelakaan.
Kemudian
berdasarkan hukum acara perdata golongan penduduk bumiputra dan timur asing,
lembaga arbitrase ini dapat dipergunakan pula oleh golongan penduduk bumiputra
dan timur asing dalam menyelesaikan perselisihannya, asalkan sebelumnya
diperjanjikan. Maka dari itu Indonesia sudah mengenal adanya lembaga arbitrase
atau perwasitan sebagai pemulus perselisihan atau sengketa hukum diantara para
pihak, serta dalam ketentuan pasal II aturan peralihan UUD 1945 menyatakan
bahwa ketentuan hukum colonial masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dan belum diatur dalam dan menurut UUD 1945, jelaslah bahwa arbitrase ini masih
dapat berlaku di Indonesia.
Akan
tetapi sesuai dengan perkembangan dunia usaha dan perkembangan lalu lintas di
bidang perdagangan, baik nasional maupun internasioal, maka peraturan yang
terdapat dalam Rv yang dipakai sebagai pedoman arbitrase sudah tidak sesuai
lagi karena telah diberlakukannya UU No. 30 Tahun 1999 Tentang AAPS yang
mengatur secara khusus dan lebih lanjut mengenai arbitrase.
D.
PERJANJIAN
DAN KLAUSULA ARBITRASE
Merujuk
pada ketentuan pasal 1 angka 1 UUAPS yang menyatakan bahwa penyelesaian
sengketa melalui arbitrase itu lahir karena adanya suatu kesepakatan yang
berupa:
1. Klusula
arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat oleh para
pihak sebelum persengketaan timbul
2. Suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang
dibuat oleh para pihak setelah persengketaan timbul
Klausula
dalam perjanjian arbitrase memberikan kewenangan absolute kepada lembaga
arbitrase atau arbitrase ad hoc untuk menyelesaikan sengketa atau beda pendapat
antar pihak yang timbul atau mungkin timbul dari hubungan hukum tertentu yang
cara penyelesaiannnya disepakati dengan cara arbitrase, dalam hal ini maka
pengadilan negeri tidak berwenang lagi untuk mengadili suatu sengketa hubungan
hukum yang sebelumnya disepakati oleh para pihak.
Perjanjian
arbitrase ini dapat dibuat seblum atau sesudah timbul sengketa oleh para pihak,
maka bentuk klausula arbitrase dibedakan atas dua macam yaitu:
1. Klausula
arbitrase yang berbentuk pactum de compromittendo
Bentuk
klausula ini dibuat oleh para pihak sebelum terjadi sengketa atau perselisihan
secara nyata, para pihak yang sebelumnya telah sepakat untuk menyerahkan
penyelesaian sengketa kepada lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc (dapat
dimuat dalam perjanjian pokok atau accesoir).
Pasal
7 UUAPS menyatakan:
“Para pihak dapat
menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka
untuk diselesaikan melalui arbitrase.”
Karena
pemilihan arbitrase sebelum terjadinya sengketa dilakukan dalam suatu bentuk
perjanjia, maka ketentuan hukum perjanjianlah yang umum berlaku (harus ada
perjanjian pokok). Dengan hapus atau berakhirnya perjanjian pokok maka tidak
menyebabkan hapus atau berakhirnya klausula atau perjanjian arbitrase kecuali
ditegaskan dalam ketentuan pasal 10 UUAPS, yaitu:
a. Meninggalnya
salah satu pihak
b. Bangkrutnya
salah satu pihak
c. Novasi
(pembaruan utang)
d. Insolvensi
(keadaan tidak mampu membayar) salah satu pihak
e. Pewarisan
f. Berlakunya
syarat-syarat hapusnya perikatan pokok
g. Bilamana
pelaksanaan perjanjian tersebut di alih tugaskan kepada pihak ketiga dengan
persetujuan pihak yang melakukan perjanjian
h. Berakhirnya
atau batalnya perjanjian pokok
2. Klausula
arbitrase yang berbentuk acta compromise
Akta
kompromis ini dibuat setelah timbul sengketa atau perselisihan terjadi
sehubungan dengan pelaksanaan perjanjian pokok. Dalam perjanjian pokok para
pihak belum mencantumkan klausula arbitrase, setelah timbul sengketa atau
perselisihan barulah para pihak sepakat untuk memilih penyelesaian sengketa
melalui arbitrase lalu dibuat perjanjian tersendiri dan terpisah dari
perjanjian pokok.
Dalam
pasal 9 UUAAPS mnegatur persyaratan pembuatan akta kompromis, yaitu:
a. Pemilihan
penyelesaian sengketa melalui arbitrase oleh para pihak dilakukan setelah
sengketa terjadi
b. Persetujuan
mengenai cara dan pranata penyelesaian sengketa tersebut dibuat dalam suatu
perjanjian tertulis, tidak boleh dengan persetujuan lisan
c. Perjanjian
tertulis harus ditandatangani oleh kedua belah pihak. Dalam hal para pihak
tidak dapat menandatanganinya, perjanjian tersebut harud dibuat dalam bentuk
akta notaries
d. Isi
perjanjian tertulis atau akta kompromis harus memuat:
1. Masalah
yang dipersengketakan
2. Nama
lengkap dan tempat tinggal para pihak
3. Nama
lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase
4. Tempat
arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan
5. Nama
lengkap sekertaris
6. Jangka
waktu penyelesaian sengketa
7. Pernyataan
kesediaan para pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang
diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase
Secara
umum, klausula-klausula arbitrase akan mencakup:
a. Komitmen/kesepakatan
para pihak untuk melaksanakan arbitrase
b. Ruang
lingkup arbitrase
c. Apakah
arbitrase akan berbentuk arbitrase institusional atau ad hoc. Apabila memilih
bentuk ad hoc, klausula tersebut harus memerinci metode penunjukan arbiter atau
majelis arbitrase
d. Aturan
prosedural yang berlaku
e. Tempat
dan bahasa yang digunakan dalam arbitrase
f. Pilihan
terhadap hukum substantive yang berlaku bagi arbitrase
g. Klausula-klausula
stabilisasi dan hak kekebalan (imunitas) jika relevan
E.
OBJEK
SENGKETA ARBITRASE DAN KEWENANGAN ARBITER
Pasal
5 ayat UUAAPS menyatakan bahwa:
1) Sengketa
yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan
dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasi
sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
2) Sengketa
yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut
peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.
Pasal
66 UUAAPS mengatur mengenai ruang lingkup perdagangan, yaitu kegiatan-kegiatan
di bidang:
a. Perniagaan
b. Perbankan
c. Keuangan
d. Penanaman
modal
e. Industri
f. Hak
kekayaan intelektual
Pasal
26 UUAAPS menyatakan bahwa:
1) Wewenang
arbiter tidak dapat dibatalkan dengan meninggalkan arbiter dan wewenang
tersebut selanjutnya dilanjutkan oleh penggantinya yang kemudain diangkat
sesuai dengan UU ini.
2) Arbiter
dapat dibebas tugaskan bilamana terbukti berpihak atau menunjukan sikap tercela
yang harus dibuktikan melalui jalur hukum.
Dalam praktik, kewenangan para arbiter
dalam penyelesaian sengketa antara lain meliputi:
1. Menentukan
sejauh mana masalah yang disengketakan dapat diselesaikan melalui arbitrase
2. Menilai
sah tidaknya kontrak yang bersangkutan
3. Menentukan
pembuktian bagaimana yang dapat diterima oleh para pihak serta syarat-syarat
pembuktian
4. Menilai
kebiasaan d bidang perdagangan yang dapat dipertimbangkan dalam penyelesaian
sengketa
5. Menentukan
penyelesaian sementara yang dinilai adil
F.
JENIS
ARBITRASE
1. Arbitrase
ad hoc (volunteer)
Arbitrase ad hoc
adalah arbitrase yang tidak terkoordinasi oleh suatu lembaga yang dibentuk
secara khusus atau bersifat insidentil untuk memeriksa dan memutus penyelesaian
sengketa tertentu dalam jangka waktu tertentu pula. Setelah memutus sengketa,
berakhir pula arbitrase tersebut.
2. Arbitrase
Institusional (permanent)
Arbitrase
institusional adalah arbitrase yang terkoordinasi oleh suatu lembaga yang
didirikan dan melekat pada suatu badan atau institusi tertentu. Sifatnya
permanen dan sapabila telah selesai memutus sengketa arbitrase ini tidak
berakhir.
G.
PERSYARATAN
DAN PENGANGKATAN ARBITER
Diatur dalam
pasal 12 UUAAPS, arbiter harus memenuhi syarat:
1. Cakap
melakukan tindakan hukum
2. Berumur
paling rendah 35 tahun
3. Tidak
mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua
dengan salah satu pihak yang bersengketa
4. Tidak
mempunyai kepentingan financial atau kepentingan lain atas putusan abitrase
5. Memiliki
pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun
H.
PROSEDUR
ARBITRASE DI INDONESIA
1. Prosedur
Arbitrase Versi Rv
a. Perjanjian
arbitrase harus diadakan secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua pihak.
Apabila para pihak tidak mampu menandatangani perjanjian tersebut dapat dibuat
dihadapan notaris.
b. Kewenangan
arbitrase diluar sengketa penghibahan atau penghibahwasiatan nafkah, perceraian
atau perpisahan meja dan ranjang antara suami istri, kedudukan hukum seseorang
dan lain-lain yang oleh UU tidak diperbolehkan mengadakan perdamaian.
c. Somasi
arbitrase disampaikans ecara tertulis dan sekurang-kurangnya memuat nama-nama
dan tempat kedudukan para pihak, masalah yang menjadi sengketa, uraian
tuntutan, serta nama-nama dan tempat kedudukan arbiter atau para arbiternya.
d. Jumlah
arbiter harus ganjil.
e. Pemeriksaan
sengketa di muka para arbiter akan dilakukan dengan cara dan jangka waktu
sebagaimana ditetapkan dan perjanjian arbitrase atau jika tentang hal itu tidak
ditetapkan sesuatu, dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan oleh para
arbiter.
f. Setelah
jangka waktu pemeriksaan berakhir, arbiter hanya akan memutus berdasarkan
keterangan-keterangan tertulis serta surat-surat yang telah diajukan kepada
mereka.
g. Arbiter
harus memutus sengketa arbitrase menurut peraturan-peraturan hukum yang
berlaku, kecuali dalam perjanjian arbitrase telah memberikan kewenangan kepada
mereka untuk memutus menurut kebijaksanaan atau seadil-adilnya (ex aequo et bono).
h. Putusan
arbitrase tidak dapat diajukan verzet, kasasi ataupun peninjauan kembali,
tetapi diperkenankan banding kepada MA.
i.
Baik putusan arbiter maupun putusan MA
harus dijalankan menurut acara yang berlaku bagi suatu pelaksanaan putusan
pengadilan dalam perkara perdata.
2. Prosedur
Arbitrase Versi UUAAPS
a. Persetujuan
arbitrase harus dimuat dalam suatu dokumen tertulis yang ditandatangani oleh
para pihak yang bersengketa atau dalam bentu akta notaris apabila para pihak
tidak dapat menandatanganinya.
b. Jumlah
arbiter harus ganjil.
c. Pengajuan
permohonan arbitrase harus dilakukan secara tertulis dengan cara menyampaikan
surat tuntutan kepada arbiter atau majelis yang memuat sekurang-kurangnya nama
lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para pihak, uraian singkat
tentang sengketa yang disertai dengan lampiran bukti-bukti, da nisi tuntutan
yang jelas.
d. Salinan,
surat tuntutan dari pemohon tersebut disampaikan kepada termohon dengan
disertai perintah bahwa termohon harus menanggapi dan memeberikan jawabannya
secara tertulis dalam waktu paling lama 14 hari sejak diterimanya salinan
tuntutan oleh termohon, yang selanjutnya diteruskan kepada pemohon.
e. Penyelesaian
sengketa melalui arbitrase dapat juga dilakukan dengan menggunakan lembaga
arbitrase nasional atau internasional berdasarkan kesepakatan para pihak, yang
dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga yang dipilih, kecuali
ditetapkan lain oleh para pihak.
f. Pemeriksaan
sengketa arbitrase harus dilakukan secara tertulis, terkecuali jika disetujui
para pihak atau dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase, pemeriksaan
sengketa arbitrase dapat dilakukan secara lisan. Semua pemeriksaan sengketa
oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup.
g. Dalam
sidang pertama, arbiter atau majelis arbitrase terlebih dahulu mengusahakan
perdamaian di antara para pihak bersangkutan.
h. Pemeriksaan
atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 hari sejak arbiter
atau majelis arbitrase terbentuk.
i. Atas
perintah arbiter atau majelis arbitrase atau atas permintaan para pihak dapat
dipanggil seorang saksi atau lebih atau seorang saksi ahli untuk didengar
keterangannya, yang sebelumnya disumpah.
j. Putusan
arbiter atau majelis arbitrase diambil berdasarkan ketentuan hukum atau
berdasarkan keadilan dan kepatutan.
k. Putusan
arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum yang ketat dan mengikat
para pihak.
l. Selanjutnya,
putusan arbitrase tersebut didaftarkan
oleh arbiter atau kuasanya kepada kepaniteraan pengadilan negeri setempat
dengan diberikan catatan dan tanda tangan pada bagian akhir atau di pinggir
putusan oleh panitia pengadilan negeri dan arbiter atau kuasanya yang
menyerahkan.
I.
PEMERIKSAAN
ARBITRASE
Sesuai dengan
UUAAPS, pemeriksaan semua sengketa arbitrase dilakukan secara tertutup dan
menggunakan bahasa Indonesia. Ketentuan bahwa arbitrase dilakukan secara
tertutup adalah menyimpang darai ketentuan acara perdata yang berlaku di
pengadilan negeri yang pada prinsipnya terbuka untuk umum.
Para pihak dalam suatu perjanjian yang tegas
dan tertulis, bebas untuk menentukan acara arbitrase yang digunakan dalam
pemeriksaan sengketa sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalamUUAAPS.
Dalam hal para pihak telah memilih acara arbitrase, juga ada kesepakatan
mengenai ketentuan jangka waktu dan tempat diselenggarakan arbitrase dan jika
jangka waktu dan tempat arbitrase tidak ditentukan, arbiter atau majelis
arbitrase akan menentukan.
Putusan
arbitrase harus diambil berdasarkan ketentuan hukum atau setidak-tidaknya
sesuai atau berdasarkan keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono).
Dalam praktik, majelis
arbitrase mengemukakan dasar dari putusan arbitrasenya serta menyebut tanggal
dan tempat putusan tersebut diberikan. Putusan arbitrase memuat hal-hal sebagai
berikut :
a)
Nama dan tempat tinggal para pihak
b)
Uraian masing-masing pendirian (dalil);
dan
c)
Pertimbangan (alasan) dan amar
putusannya.
Amar
putusan arbitrase sebagaimana halnya dengan putusan pengadilan, memuat tiga
macam hal yaitu :
1)
Putusan kondemnatoir (menghukum);
2)
Putusan deklaratoir (menyatakan,
misalnya, suatu keadaan adalah sah atau sesuai undang-undang); dan/atau
3)
Putusan konstitutif (menciptakan suatu
keadaan yang baru).
Lembaga
arbitrase dapat menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak untuk
memberikan suatu pendapat yang mengikat (binding opinion) mengenai suatu
persoalan berkenaan dengan perjanjian, misalnya, mengenai penafsiran ketentuan
yang kurang jelas, penambahan atau perubahan pada ketentuan yang berhubungan
dengan timbulnya keadaan baru, dan lain-lain. Dengan diberikannya pendapat oleh
lembaga arbitrase tersebut, maka kedua belah pihak terkait padanya dan salah
satu pihak yang bertindak bertentangan dengan pendapat itu akan dianggap
melanggar perjanjian.
K.
PELAKSANAAN
PUTUSAN ARBITRASE
Putusan
arbitrase dapat dibedakan atas dua macam, yaitu :
1.
Putusan arbitrase nasional dan
2.
Putusan arbitrase internasional
Putusan
arbitrase nasional adalah sepanjang putusan tersebut dibuat berdasarkan dan di
lakukan di wilayah Indonesia, maka putusan tersebut termasuk pada putusan
arbitrase nasional.
Suatu
putusan arbitrase akan dikualifikasikan sebagai putusan arbitrase internasional
atau asing, jika putusan arbitrase dimaksud dijatuhkan di luar wilayah
teritorial hukum repubilk Indonesia
1. . Pelaksanaan Putusan Arbitrase
Nasional
Ketentuan pelaksanaan putusan
arbitrase nasional diatur lebih lanjut dalam ketentuan pasal 59-64 UUAAPS.
Pada dasarnya putusan arbitrase nasional harus dilaksanakan
oleh para pihak secara sukarela. Jika para pihak tidak bersedia memenuhi
pelaksanaan putusan arbitrase nasional tersebut secara sukarela, putusan
arbitrase nasional itu dilaksanakan secara paksa.
Supaya putusan arbitrase nasional dapat dilaksanakan,
putusan tersebut harus dideponir terlebih dahulu dalam akta pendaftaran di
kepaniteraan pengadilan negeri. Tindakan deponir dilakukan dengan cara
menyerahkan dan mendaftarkan lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase
nasional oleh arbiter atau kuasanya kepada panitera pengadilan negri
Ketentuan dalam pasal 59 UUAAPS
menentukan batas waktu penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase nasional
tersebut, yaitu dilakukan dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak
tanggal putusan arbitrase diucapkan oleh arbiter atau majeelis arbitrase.
Apabila tindakan deponir terhadap putusan arbitrase nasional tidak dipenuhi,
berakibat putusan arbitrase nasional yang bersangkutan tidak dapat dilaksanakan
Putusan arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan
mengikat, sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenakan untuk memeriksa
alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional. Kewenangan memeriksa
yang dipunyai Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara fornal
terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis
arbitrase. Sehubungan dengan itu, ketentuan dalam pasal 62 ayat (2) UUAAPS
menyatakan, bahwa ketua pengadilan negeri sebelum memberikan perintah
pelaksanan, memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi pasal 4
dan psal 5 serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
Ketua pengadilan negri akan menolak suatu permohonan
pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase nasional jika terdapat alasan-alasan
sebagai berikut:
a. Putusan dijatuhkan oleh arbiter atau
majelis arbitrase yang tidak berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara sengketa arbitrase yang bersangkutan
b. putusan dijatuhkan melebihi batas
kewenangan arbiter atau majelis arbitrase yang diberikan oleh para pihak yang
bersengketa
c. putusan yang dijatuhkan ternyata
tidak memenuhi syarat-syarat penyelesaian sengketa melalui arbitrase, yaitu
–
Sengketa
yang diputus bukan sengketa di bidang perdagangan atau tidak termasuk dalam
ruang lingkup hukum perdagangan yang menjadi wewenanang lembaga arbitrase untuk
menyelesaikannya
–
Sengketa
yang diputus bukan mengenai hak menurut hukum dan peraturan perundang-undangan
dkuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa
–
Sengketa
yang diputus ternyata termasuk sengketa yang menurut peraturan
perundang-undangan tidaak daapat diakan perdamainan
d. Putusan yang dijatuhkan ternyata
bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum
2. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional
Ketentuan
pelaksanaan putusan arbitrase internasional diatur lebih lanjut dalam pasal
67-69 UUAAPS sebagai pembaharuan ketentuan yang sama sebagaimana telah diatur
dalam Peraturan Mehkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990
Putusan
arbitrase Internasional hanya dapat dieksekusi jika sebelumnya telah
dideponirpengadilan. Pendeponiran putusan arbitrase internasional tersebut
dilakukan di kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, setelah arbiter atau
kuasanya menyerahkan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk itu.
Permohonan
pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase internasional disampaikan kepada
pengadilan negri jakarta ousat disertai dengan dokumen-dokumen yang telah
dideponir. Atas dasar permohonan tersebut, Ketua Pengadilan Negri Jakarta Pusat
mengeluarkan putusan yang isinya menerima atau menolak untuk mengakui dan
mengeksekusi suatu putusan arbitase internasional. Apabila putusan Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menerima dan mengakui putusan arbitrase
internasional, putusannya bersifat final sehingga tidak dapat diajukan upaya
banding atau kasasi. Sebaliknya, apabila putusan Ketua Pengadilan Negri Jakarta
Pusat menolak untuk mengakui dan melaksanakan suatu putusan arbitrase
internasinal terhadapnya dapat diupayakan kasasi ke MA.
Selanjutnya,
dalam jangka waktu paling lama sembilan puluh hari setelah permohonan kasasi
tersebut diterima, MA akan mempertimbangan serta memutuskan untuk menerima atau
meonlak pengajuan kasasi. Putuasn MA ini juga bersifat final, karenanya tidak
dapat diajukan upaya perlawanan hukum apapun
I. Pembatalan Putusan Arbitras
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya putusan arbitrase itu
bersifat “final”, yakni putusan pertama dan terakhir, dan mempunyai kekuatan
hukum tetap serta secara langsung mengikat bagi para pihak. Sebagai suatu
putusan yang bersifat final, maka dengan sendirinya terhadap putusan arbitrase
tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum seperti perlawanan, banding, kasasi,
atau peninjauan kembali. Namun karena beberapa hal dimungkinkan pembatalan
terhadap putusan arbitrase tersebut
Pembatalan putusan arbitrase ini hanya dapat dilakukan jika
terdapat hal hal yang bersifat luar biasa. Ketentuan daalam pasal 70
UUAAPS menentukan bahwa putusan
arbitrase dapat dibatalkan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur
sebagai berikut:
a. Surat atau dokumen yang diajukan
dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, di akui palsu atau dinyatakan
palsu
b. Setelah putusan dia ambil, ditemukan
dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan atau
c. Putusan diambil dari hasil tipu
muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.